Rabu, 21 Maret 2012

Terima Kasih


Oleh : Yeyen Rulyan 
07 Februari 2010 jam 18:54


Setelah membaca fathehah kupandangi nisan bernamakan Budi Adianto Bin Sugeng meninggal tanggal 2 Desember 2008. Masih basah dan terasa wangi bunga mawar dan bunga-bunga besar tanda belakungkawa.
            Aku tertunduk dan terus meneteskan airmata. Ini adalah hari ke-7 aku ke makam Budi.
            Sungguh kini kau kesepian Bud, hanya amal ibadah yang kau lakukan selama di dunia yang kau bawa, bukan harta atau uang. *Bukan pakaian merk LEVIS yang kemarin aku hadiahkan pada saat ultahmu yang ke-19 tapi kafanlah yang kini kau pakai. Bukan juga pramugari atau aku yang melayanimu, seperti saat kita makan bersama di rumahku, bukan. Tapi malaikat MUNKAR-NAKIR.* Semoga kau tak kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, aku berdoa untukmu. Semoga kesabaran dan tawakalmu dalam mengharap Ridho-Nya dapat menolongmu. Maut tak pernah lalai menjemput kita, sebaliknya kita selalu lalai atas maut itu, cinta-Nya.
             Ah akhirnya kau juga meninggalkan kita, dan dunia yang selalu kau gemari yang membuat aku merinding untuk melihatnya. Yah, balapan motor!! Yang akhirnya juga mengantarmu sampai ke sini.

             ‘Mengapa kau begitu cepat meninggalkanku Bud? Sedang masih banyak yang ingin aku ceritakan padamu, curhatku, keberhasilanku karena ternyata aku masuk dalam deretan siswi yang mendapatkan beasiswa itu, bukankah itu yang kau mau dariku, bisa berguna untuk kedua orangtuaku.’ Dengan raut muka yang sudah sembab karena banyak menangis.
             ‘ Ni, ikhlaskan dia. Agar diapun tenang di sana, berdoalah untuknya agar amal ibadahnya diterima disisi Allah, Allah lebih mencintainya. Ikhlaskan ya Ni. Aku tahu kamu pasti sedih sekali, tapi dia gak mau kamu seperti ini terus, pesan dia harus kamu ingat. Berilah yang terbaik untuknya.’ Pria mencoba menenangkanku.
Ah Pria aku ingin menemani dia, pasti dia kesepian. Bathinku.
***
  ‘Makin lama kamu itu makin manja dan nyebelin ya.’ Amarah Budi meledak saat aku memintanya untuk menemani main ke Taman Sari.
    Padahal aku tahu bahwa hari itu adalah jadwal dia kumpul bareng Genk-genknya untuk latihan motor karena besoknya diadakan balapan di lapangan Mandala. Ah aku benci jika dia lebih mementingkan motor itu, karena aku tahu resikonya. Maut!! Karena itu aku selalu mencoba untuk
menggagalkannya, dan ini udah yang kesekian x-nya. Padahal dia selalu ada
waktu untukku, kecuali jika ada latihan. Jangankan untuk ngapel, sekedar
sms aja gak sempat!!

            ‘Budddiiii’ Merengek kaya anak kecil, sambil mencubiti punggung tangannya yang item.
            ‘Udah gak usah ngalem, gak akan aku turuti.’
Tak terasa airmataku menetes, akupun tak tahu mengapa? Gak biasanya. Aku merasa tak ingin saja jauh darinya, hari itu, iya hari itu aku hanya ingin dekat dengannya. Tak ingin pisah.
            ‘Aaaaggghhh, kamu dah buat aku nangis!!’ sambil mendorong-dorong punggungnya, yang membuat adikku yang sedang asyik lihat tv penasaran dan mencoba mengintip. Dasar!
             ‘Kamu ngapa sie Ani? Biasanya kamu gak kaya gini? Loq aku bilang gak mau, kamu gak maksa. Kok sekarang malah maksa banget. Ya nanti loq aku dah selesai latihan kita main.
            ‘Gak mau, aku maunya sekarang dan sampai nanti malam.’
             ‘Gak sampai pagi?’ ejek Budi.
             ‘Ya udah’. Tantangku. ‘Ngawur.’
             ‘Pokoknya gak bisa sekarang Ni.’
             ‘Ya udah pacaran saja kamu sama motor itu, dan gak usah mikirin aku!’ aku berniat meninggalkannya.
            ‘Benar?’ dengan nada yang serius banget. Kulihat wajah yang teduh dan damai daripada hari-hari yang lain, yang membuat amarahku luluh adalah senyum dia setelah amarah itu, senyum bagai tiada dosa. Lalu aku beranjak duduk lagi di dekatnya.
            ‘Enggak, aku nunggu kamu aja.’ Pasrah.
             ‘Ani, Ani. Ke taman Sari dengan adik kamu aja dulu ya?’
             ‘Kalau gak sama kamu, gak.’
             ‘Kumat.’
            ‘Biar.’
             ‘ooooooo.’ Lalu menggenggam tanganku erat banget, sambil mengucapkan kata-kata yang ahhh tidak tak akan pernah aku lupakan.
             ‘Ani, kamukan dah dewasa, sebisa mungkin jangan terlalu manja, marah, atau cemburu, apalagi dengan motorku. Gunakan waktumu untuk belajar, berguna untuk orang lain, *hidup itu akan terasa bermakna jika tangan kita bisa bermanfaat untuk orang lain serta hati kita ikhlas karenanya*. Tak selamaya aku ada di sampingmu, menjaga, membimbing ngaji, sholat, menjadi tempat bersandarmu kala kamu rindu dan sedang banyak masalah. Bersikaplah dewasa. Oya, ada sesuatu buat kamu.’ Budi mengeluarkan Novel Religi.

Yah Novel yang telah lama aku ingini tapi belum bisa beli karena tak ada dana, kau tahu apa yang selalu aku mau.
             ‘Aku menyumbang buku untuk melengkapi perpustakaan kecil kita.’ Sedang aku hanya mampu tersenyum malu. Lalu Budi Pamit untuk latihan.

Tragedi itu!!!
{Abang? Jadwal ngapel sekarang.}
{Neng, sekarang aku tandingan, jadi gak bisa, besok ya? Besok aku untukmu, seutuhnya}

{ !!!!!!!}
{Dukungan itu yang sekarang aku mau?? Bukan marah!!}
{ Aku gak suka kamu lomba itu?? Aku pengennya kamu di sini}
{Ini yang terakhir, karena aku pengen serius sama kamu.}
Lalu Budi menelpon untuk meyakinkan kata-katanya.
       ‘Ani, aku butuh dukungan kamu, saat ini.’
        ‘Iya aku selalu dukung kamu dan aku ingin itu yang terakhir kamu lomba, karena aku gak pengen sesuatu itu terjadi.’
        ‘Wusshh, jangan aneh-aneh. Aku masih ingin buat kamu nangis dan kangen kok, jadi aku tetap akan ada buat kamu.’
        ‘Ya dah loq gitu aku datang ya?’
        ‘Jangan, kamu di rumah aja. Belajar, ini hanya pertandingan biasa kok, jadi gak perlu kamu dateng, karena doamu sudah ada di sampingku.’
       ‘Gombal..’
       ‘Emang, weeexxx.’
       ‘Menyebalkan.’
       ‘Udah gak marahkan? Ya udah ya? Belajar yang bener dan aku ingin dengar nanti bahwa kamu adalah salah satu murid SMA Kebayoran 1 Yogyakarta yang mendapatkan Beasiswa itu. Itu pintaku.’
        ‘Iya Akang, kaya mau mati aja, pinta-pinta. Dan pintaku, rinduku segera kamu kembalikan.’
       ‘Secepatnya, assalamualaikum.’
        ‘Wallaikumsalam.’

3 Jam kemudian
                                 -Kau auraku, kau pancarkan sepercik harapan-

Telponku berbunyi, lalu aku berniat mengambil sambil membathin pasti Budi. Ha?? Pria?
        ‘Assalamualaikum?’
  ‘Wallaikumsalam?’
        ‘iya, ada apa?’ ‘Ani, yang sabar ya?’
        ‘Ha?’

Dan bagai gempa yang yang aku rasa, luluh lantah hatiku mendengar kabar itu, kabar yang tak pernah aku harapkan, tapi tak mampu aku untuk mengelaknya. Budi, yang langsung meninggal di lokasi kejadian karena ditabrak oleh lawannya saat memenangkan
pertandingan itu.
 ‘Agggghhhh!!!.’ Yang mungkin membuat seisi rumah
terbangun, dan semua serasa gelap.





***
            ‘Ani pulang yuk?’ sambil menyenggol punggung, mungkin dia takut karena aku hanya diam saja di depan nisan Budi.
             ‘Iya.’ Sesampainya di rumah, tangisku kembali pecah saat melihat Liontin itu, Liontin cantik berbentuk hati yang terpampang fotoku dan Budi.

***

            ‘Ani, ini ada pemberian terakhir dari Budi yang sempat dititipkan padaku, hadiah dari lomba kemarin.’ Ari sahabat Budi yang 2 hari setelah
meninggalnya Budi mengantarkan Liontin itu ke rumahku. Lalu
menyerahkannya padaku.
        ‘Apa ini?’ aku terima dan langsung
membuangnya ke kotak sampah.
 ’Ini penyebab kematian dia, kalau bukan karena itu, dia tak akan mati!!’ Berlari ke kamar.

Tapi untung saja orangtuaku memungutnya dan menyimpannya, karena itu adalah hadiah terakhir dari Budi. Yang kata orangtuaku suatu saat pasti dibutuhkan olehku, karena masa lalu bukan sesuatu yang harus dilupakan.

Keluargaku tak ada yang berani untuk mendekatiku saat aku menangis, mereka hanya ingin memberi waktu padaku untuk menagis. Karena mereka tahu aku harus belajar dewasa. Aku memandangi Liontin pemberian terakhir dari Budi dan juga sebagai kado ultahku nanti 11 Desember 2008 surat terakhir yang selalu aku baca dan baca hingga tiada bosannya aku membaca, surat!!

23 November 2008
-Lovely-
(Dasar... Bathinku, sambil menahan airmata)
Assalamualaikum Neng
(Aku berhenti membaca, menangis, dan menghapus airmataku lagi lalu membaca lagi,
waallaikumsalam. Bathinku.)
Nengku yang cengeng dan manja, suka ngambek gak ketulungan bikin kebakaran jenggot buat membujuknya, tapi membuat rindu jika sudah tersenyum malu. Senyum yang manisnya melebihi penjual es teh di depan rumahnya

(‘Aaaggghhh, Budi.’ Aku berhenti membaca, menangis lagi, dan membaca lagi.)

Tersenyumlah saat kau membaca surat pertama dan terakhirku ini karena aku tidak suka menulis, lebih suka berbicara langsung. Tapi demi
menghormati nengku yang suka menulis, jadi aku belajar menulis untuk kali ini saja. Di simpan di perpustakaan kecil kita nanti ya, dan besoknya aku tak menulis surat tapi akan ada langsung di sampingmu membawa bingkisan cantik untukmu. Dan anggaplah sekarang aku ada di sampingmu

(‘Aaaggghhh, kamu bikin aku takut.’)

Ani, aku buat surat ini sebagai janji bahwa dalam 1 minggu ini di mulai besok aku bersikap acuh dan lebih mementingkan lomba itu, karena ada yang aku kejar dari lomba itu. Liontin cantik. Di mana ada tempat foto, aku ingin memberinya saat ultah kamu nanti, jadi maaf ya, membuat kamu marah dan sebel selama seminggu nanti. Tlah aku pinta Ari untuk menjadi saksi janjiku. Setelah itu aku tidak akan balapan motor lagi, aku akan cari kerja dengan serius dan melanjutkan kuliah jika bisa, dan aku yakin aku bisa, semua untukmu. Tersenyumlah, karena aku selalu merindukan dan mengawasi senyum manismu melalui surat ini.
*Tak pernah kubayangkan meninggalkanmu, lukai cintamu. Tak pernah kuinginkan. menduakanmu, hancurkan hatimu. *

-Budi-
Budi, makasih ya, meskipun kini ragamu tak ada di sampingku, tapi kau hidup dalam hati ini. Sambil melipat surat dan beranjak untuk tidur sambil mendengarkan lagu. Semoga besok aku bisa menetap mentari dan menggapai cita meskipun tanpa ada Budi lagi
*Kau permata impianku, sewaktu kita bersama dulu, tutur katamu, senda guraumu, sejukkan jiwaku. Permata hatiku
Berlinanglah airmataku, kutaburi bunga mawar untukmu. Teriring doa damai di sana bahagia untuk selama-lamanya. Tuhan terimalah dirinya satukanlah kelak kami di sana, kucinta dia, kusayang dia walaupun kini telah tiada.*

.

Referensi :
·         Di saat mendengarkan lagu Malaysia jadi deh cerita ini
·         Dibuat dan selesai pada tgl 3 Februari 2010 Jam3an sore
·        Terima kasih pada yang telah memperbolehkan kiriman pesannya aku jadikan pelengkap dalam catatan ini.
·         Mengenang 7 hari meninggalnya sahabat kita teman Magistra Utama “ uChy”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar